Serakah Harta Warisan, Sengsara di Hari Tua, Naudzubillah Min Dzalik!
Memperoleh amanah untuk membagikan warisan tidak dijalankan dengan betul oleh Samad (bukan nama sebenarnya).
Terbukti, ketika orang tuanya meninggal, warisan yang seharusnya dibagi dengan saudaranya yang lain justru dia habiskan sendiri. Nauzubillahi min zalik, ketika memasuki masa tua, ia pun menderita penyakit aneh dan hidupnya telantar. Inikah peringatan dari Allah untuknya di dunia? Berikut kisahnnnya
Samad merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Keluarganya termasuk keluarga yang mampu dan memiliki beberapa petak sawah di desanya. Keluarga Samad tinggal di sebuth desa di Kabupaten Mojokerto. Seluruh saudaranya sudah menikah dan tinggal terpisah dari Samad dan orang tuanya.
Sejak masih kecil, Samad sudah menjadi anak yatim. Ia dan saudaranya yang lain dibesarkan oleh ibunya yang bekerja sebagai petani. Kebetulan, ibu Samad memiliki sawah yang cukup luas. Ibunya membutuhkan bantuan untuk mengelola sawah tersebut agar bisa dimanfaatkan dengan baik, dan menjadi sumber kehidupan.
Setiap musim panen padi, sawah milik keluarga Samad bisa menghasilkan puluhan ton padi. Kemudian diolah menjadi beras, dan dijual kepada tengkulak. Melihat hasil yang cukup untuk menghidupi keluarga, Samad tertarik untuk ikut mengelola sawah milik orang tuanya. Padahal sebelumnya ia hanya sibuk dengan pekerjaan yang dijalaninya di perusahaan. Setelah berkeluarga dan memiliki seorang anak, ia memutuskan untuk keluar dari perusahaan dan ikut mengelola sawah.
Orang tuanya tidak merasa keberatan, bahkan saudaranya yang lain juga mendukung. Tujuannya agar ada penerus keluarga yang menjadi petani. Pertama mengolah sawah, ia sukses. Panen yang diperolehnya melimpah, bahkan tidak hanya ditanami padi, namun juga dikombinasi dengan kolam ikan disamping sawah.
“Saat dikelola oleh Samad, sawahnya itu panen banyak. Terus dikembangkan lagi untuk kolam ikan. Itupun juga berhasil,” ungkap salah satu tetangganya yang tidak mau disebutkan namanya.
BERSIFAT EGOIS
Samad merasa sangat berhasil dan tidak membutuhkan saudaranya yang lain untuk mengelola sawah yang selama ini sudah dipercayakan oleh orang tuanya kepada Samad. Seluruh keluarganya tidak diizinkan untuk ikut campur mengenai pengelolah sawah. Mereka hanya diberikan hasil keuntungan saja ketika panen berlangsung.
Hasil yang diterima saudaranya tentu tidak sebanding dengan yang diterima oleh Samad. Alasannya karena ia yang mengelolah sejak awal hingga akhir.
Setelah semua saudaranya sudah menikah dan mempunyai kehidupan masing-masing, ia pun mulai menunjukkan sisi egosismenya. Ibunya yang sudah berusia lanjut tidak diperbolehkan untuk pindah ke rumah saudaranya yang lain.
Samad meminta jatah rumah yang ditempatinya kini bersama dengan ibunya dengan alasan, ia yang merawatnya selama ini. Padahal ibunya juga jarang diperhatikan. Kadang ketika ibunya sakit, ia hanya membelikan obat saja tanpa membawa dan memeriksakannya ke dokter.
“Kalau ibu pingin menginap ke saudaranya yang lain tiu tidak dibolehkan. Padahal saudaranya yang lain juga ingin merawat ibunya. Ketika saudaranya datang, ia jarang membukaan pintu, dan beralasan sibuk mengolah sawah. Padahal ibunya ada di dalam,” tambahnya.
Sifat egoisnya mulai terlihat, dan semakin terasa bahwa Samad ingin menguasai sendiri apa yang dimiliki oleh orang tuanya dulu. Ia tidak ingin membaginya kepada saudaranya yang lain. hal ini terlihat dari sikapnya yang mulai tidak memperdulikan saudaranya yang lain.
Akhirnya keempat saudaranya memilih untuk jarang mengunjungi ibunya, karena selalu tidak mendapatkan izin dari Samad.
Sebelum meninggal, ibunya sempat berpesan kepadanya dan saudaranya yang lain agar sawah yang menjadi peninggalan orang tuanya dibagi rata berdasarkan Islam. Hal ini sudah tertera dalam surat warisan yang dibuat oleh ibunya dan ayahnya dulu. Tidak berapa lama setelah memerintahkan Samad untuk membagikan warisan kepada saudaranya yang lain. Ibunya meninggal, karena sakit yang dideritanya sejak lama.
Seluruh saudaranya diberitahu mengenai kabar duka ini. Namun Samad tidak memberitahukan bahwa saudaranya yang lain mendapatkan warisan sawah.
Jatah warisan itu mereka dikelola sendiri oleh Samad. Sementara saudaranya yang lain tidak pernah menanyakan dan jarang mengunjungi Samad karena kesibukan masing-masing. Seluruh saudaranya kini tinggal di luar kota, dan sudah tidak bergantung dengan ‘jatah’ tahunan panen dari Samad. Saudaranya juga tidak menanyakan mengenai warisan.
Samad menikmati sendiri warisan tersebut dengan anak-anaknya. Sebenarnya anak-anaknya juga sudah mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh Samad itu adalah salah, tapi mereka menikmatinya. Tidak selamanya kecurangan yang dilakukan oleh Samad berbuah manis.
MULAI BANGKRUT
Perlahan sawah yang dikelolanya mengalami gagal panen. entah itu serangan dari hama atau akibat dari cuaca buruk yang menyerang. Perlahan hasil panen menurun, dan untuk melakukan pembibitan lagi, ia harus utang ke koperasi atau bank setempat.
Kemudian anaknya juga tidak ada yang membantu keuangan Samad. Mereka beralasan mempunyai kebutuhan sendiri-sendiri.
Tahun ke tahun Samad mengalami kerugian. Uang hasil panen hanya bisa untuk membayar utang saja. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari, kadang ia utang kepada saudaranya. Sampai saat ini saudaranya juga tidak mengetahui bahwa sebenarnya mereka mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya yang hanya dinikmati oleh Samad.
Tapi ia merasa malu dan takut kepada saudaranya karena ia sudah mengambil hak saudaranya. Istrinya meninggal karena kecelakaan, sementara anak-anaknya sudah berumah tangga. Masa tua Samad berubah drastis. Ia kini menjadi seseorang yang tidak mendapatkan perhatian dari keluarganya.
Takdir Allah berkehendak lain, seluruh harta kekayaan yang dimilikinya dulu habis untuk biaya pengobatannya dan kebutuhan sehari-hari. Sawahnya ikut terjual tanpa persetujuan dari saudaranya yang lain. Saudaranya merasa tidak dilibatkan dan menjauh dari kehidupan Samad. Yang menerima uang penjualan sawah hanyalah anak-anak Samad.
Kini ia bangkrut dan jatuh miskin. Anaknya tidak peduli, dan ia hanya tinggal sendiri di rumah yang kecil dan berada di tengah sawah. Tubuhnya yang ringkih sering mengalami sakit-sakitan. Beberapa warga yang kasihan terhadap Samad terkadang memberikan makanan, karena ia sudah jauh dari anak-anak dan saudaranya.
“Seperti ia menyesal, karena terkadang ia menangis sendiri di depan rumahnya. Tapi ia juga tidak berani untuk bilang kepada saudaranya yang lain, karena sudah mendzalimi mereka. Semoga kelak Samad bisa mendapatkan ketenangan,” harapnya.
Kini Samad hanya tinggal seorang diri. Mass tua yang seharusnya ia jalani bersama keluarga justru membuatnya kehilangan semuanya akibat keserakahan Samad yang ingin menguasai sendiri harta warisan orang tuanya.
Terbukti, ketika orang tuanya meninggal, warisan yang seharusnya dibagi dengan saudaranya yang lain justru dia habiskan sendiri. Nauzubillahi min zalik, ketika memasuki masa tua, ia pun menderita penyakit aneh dan hidupnya telantar. Inikah peringatan dari Allah untuknya di dunia? Berikut kisahnnnya
Sejak masih kecil, Samad sudah menjadi anak yatim. Ia dan saudaranya yang lain dibesarkan oleh ibunya yang bekerja sebagai petani. Kebetulan, ibu Samad memiliki sawah yang cukup luas. Ibunya membutuhkan bantuan untuk mengelola sawah tersebut agar bisa dimanfaatkan dengan baik, dan menjadi sumber kehidupan.
Setiap musim panen padi, sawah milik keluarga Samad bisa menghasilkan puluhan ton padi. Kemudian diolah menjadi beras, dan dijual kepada tengkulak. Melihat hasil yang cukup untuk menghidupi keluarga, Samad tertarik untuk ikut mengelola sawah milik orang tuanya. Padahal sebelumnya ia hanya sibuk dengan pekerjaan yang dijalaninya di perusahaan. Setelah berkeluarga dan memiliki seorang anak, ia memutuskan untuk keluar dari perusahaan dan ikut mengelola sawah.
Orang tuanya tidak merasa keberatan, bahkan saudaranya yang lain juga mendukung. Tujuannya agar ada penerus keluarga yang menjadi petani. Pertama mengolah sawah, ia sukses. Panen yang diperolehnya melimpah, bahkan tidak hanya ditanami padi, namun juga dikombinasi dengan kolam ikan disamping sawah.
“Saat dikelola oleh Samad, sawahnya itu panen banyak. Terus dikembangkan lagi untuk kolam ikan. Itupun juga berhasil,” ungkap salah satu tetangganya yang tidak mau disebutkan namanya.
BERSIFAT EGOIS
Samad merasa sangat berhasil dan tidak membutuhkan saudaranya yang lain untuk mengelola sawah yang selama ini sudah dipercayakan oleh orang tuanya kepada Samad. Seluruh keluarganya tidak diizinkan untuk ikut campur mengenai pengelolah sawah. Mereka hanya diberikan hasil keuntungan saja ketika panen berlangsung.
Hasil yang diterima saudaranya tentu tidak sebanding dengan yang diterima oleh Samad. Alasannya karena ia yang mengelolah sejak awal hingga akhir.
Setelah semua saudaranya sudah menikah dan mempunyai kehidupan masing-masing, ia pun mulai menunjukkan sisi egosismenya. Ibunya yang sudah berusia lanjut tidak diperbolehkan untuk pindah ke rumah saudaranya yang lain.
Samad meminta jatah rumah yang ditempatinya kini bersama dengan ibunya dengan alasan, ia yang merawatnya selama ini. Padahal ibunya juga jarang diperhatikan. Kadang ketika ibunya sakit, ia hanya membelikan obat saja tanpa membawa dan memeriksakannya ke dokter.
“Kalau ibu pingin menginap ke saudaranya yang lain tiu tidak dibolehkan. Padahal saudaranya yang lain juga ingin merawat ibunya. Ketika saudaranya datang, ia jarang membukaan pintu, dan beralasan sibuk mengolah sawah. Padahal ibunya ada di dalam,” tambahnya.
Sifat egoisnya mulai terlihat, dan semakin terasa bahwa Samad ingin menguasai sendiri apa yang dimiliki oleh orang tuanya dulu. Ia tidak ingin membaginya kepada saudaranya yang lain. hal ini terlihat dari sikapnya yang mulai tidak memperdulikan saudaranya yang lain.
Akhirnya keempat saudaranya memilih untuk jarang mengunjungi ibunya, karena selalu tidak mendapatkan izin dari Samad.
Sebelum meninggal, ibunya sempat berpesan kepadanya dan saudaranya yang lain agar sawah yang menjadi peninggalan orang tuanya dibagi rata berdasarkan Islam. Hal ini sudah tertera dalam surat warisan yang dibuat oleh ibunya dan ayahnya dulu. Tidak berapa lama setelah memerintahkan Samad untuk membagikan warisan kepada saudaranya yang lain. Ibunya meninggal, karena sakit yang dideritanya sejak lama.
Seluruh saudaranya diberitahu mengenai kabar duka ini. Namun Samad tidak memberitahukan bahwa saudaranya yang lain mendapatkan warisan sawah.
Jatah warisan itu mereka dikelola sendiri oleh Samad. Sementara saudaranya yang lain tidak pernah menanyakan dan jarang mengunjungi Samad karena kesibukan masing-masing. Seluruh saudaranya kini tinggal di luar kota, dan sudah tidak bergantung dengan ‘jatah’ tahunan panen dari Samad. Saudaranya juga tidak menanyakan mengenai warisan.
Samad menikmati sendiri warisan tersebut dengan anak-anaknya. Sebenarnya anak-anaknya juga sudah mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh Samad itu adalah salah, tapi mereka menikmatinya. Tidak selamanya kecurangan yang dilakukan oleh Samad berbuah manis.
MULAI BANGKRUT
Perlahan sawah yang dikelolanya mengalami gagal panen. entah itu serangan dari hama atau akibat dari cuaca buruk yang menyerang. Perlahan hasil panen menurun, dan untuk melakukan pembibitan lagi, ia harus utang ke koperasi atau bank setempat.
Kemudian anaknya juga tidak ada yang membantu keuangan Samad. Mereka beralasan mempunyai kebutuhan sendiri-sendiri.
Tahun ke tahun Samad mengalami kerugian. Uang hasil panen hanya bisa untuk membayar utang saja. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari, kadang ia utang kepada saudaranya. Sampai saat ini saudaranya juga tidak mengetahui bahwa sebenarnya mereka mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya yang hanya dinikmati oleh Samad.
Tapi ia merasa malu dan takut kepada saudaranya karena ia sudah mengambil hak saudaranya. Istrinya meninggal karena kecelakaan, sementara anak-anaknya sudah berumah tangga. Masa tua Samad berubah drastis. Ia kini menjadi seseorang yang tidak mendapatkan perhatian dari keluarganya.
Takdir Allah berkehendak lain, seluruh harta kekayaan yang dimilikinya dulu habis untuk biaya pengobatannya dan kebutuhan sehari-hari. Sawahnya ikut terjual tanpa persetujuan dari saudaranya yang lain. Saudaranya merasa tidak dilibatkan dan menjauh dari kehidupan Samad. Yang menerima uang penjualan sawah hanyalah anak-anak Samad.
Kini ia bangkrut dan jatuh miskin. Anaknya tidak peduli, dan ia hanya tinggal sendiri di rumah yang kecil dan berada di tengah sawah. Tubuhnya yang ringkih sering mengalami sakit-sakitan. Beberapa warga yang kasihan terhadap Samad terkadang memberikan makanan, karena ia sudah jauh dari anak-anak dan saudaranya.
“Seperti ia menyesal, karena terkadang ia menangis sendiri di depan rumahnya. Tapi ia juga tidak berani untuk bilang kepada saudaranya yang lain, karena sudah mendzalimi mereka. Semoga kelak Samad bisa mendapatkan ketenangan,” harapnya.
Kini Samad hanya tinggal seorang diri. Mass tua yang seharusnya ia jalani bersama keluarga justru membuatnya kehilangan semuanya akibat keserakahan Samad yang ingin menguasai sendiri harta warisan orang tuanya.
0 Response to "Serakah Harta Warisan, Sengsara di Hari Tua, Naudzubillah Min Dzalik!"
Posting Komentar